Jumat, 04 November 2011

Hikmah Tersirat Ibadah Haji

Haji secara etimologi berarti “pergi, berkunjung” atau “ziarah kesuatu tempat”. Menurut istilah, haji adalah berkunjung ke Baitullah, Ka’bah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara tertentu yang dilaksanakan pada Sembilan hari pertama dzulhijjah samapai terbit fajar hari kesepuluh atau yang disebut Yaum Al-Nahr (hari raya haji), dalam waktu dan tempat tertentu.[1]
Dalam konteks sejarah, ibadah haji telah dikenal sejak masa Nabi Ibrahim a.s. pada waktu itu beliau bersama putranya, Ismail, diamanatkan Allah untuk membangun Ka’bah dan mengajak kaumnya untuk mengunjunginya sebagai bentuk pentauhidan kepada Allah. Ketika Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, turun perintah Allah melalui malaikat Jibril untuk melakukan thawaf tujuh kali dan berlari-lari kecil antara shafa dan marwah. Peristiwa ini merujuk kepada pencarian Siti Hajar akan air ditengah terik panas yang memantulkan fatamorgana, bagaikan air memancar dari bumi. Aktifitas ini diakhiri dengan melaksanakan shalat sunat dua rakaat.[2]
Ulama sepakat atas wajibnya haji, dengan merujuk kepada Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 97 yang berbunyi:
فيه ءايات بيّنات مقام إبراهيم ومن دخله كان ءامنا ولله على الناس حجّ البيت من استطع إليه سبيلا ومن كفر فإنّ الله غنيّ عن العالمين.
Artinya: “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barabg siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesunggunhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Ayat tersebut dujelaskan dalam hadits nabi Muhammad SAW. Berbunyi:[3]
عن أبى هريرة قال خطبنا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أيّها الناس قد فرض الله عليكم الحجّ فحجّوا. فقال رجل: أكل عام يا رسول الله، فسكت حتّى قالها ثلاثا، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "لو قلت نعم، ولما استطعتم ثم قال درونى ما تركتم فإنّما هلك من كان من قبلكم بكثرة سؤالهم على أنبيائهم، فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم، وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه". (رواه أحمد و مسلم)
Artinya: “dari Abi Hurairah berkata: “pada khutbah rasullah SAW kepada kami, beliau bersabda, Wahai manusia: sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah. Lalu bertanya seorang laki-laki: apakah setiap tahun ya Rasullah? Nabi berdiam diri sehingga pertanyaan ini di ulanginya tiga kali; maka Nabi manjawab: sekiranya kukatakan “ya”, maka akan menjadi wajib dan kalian tentu tidak sanggup melakukannya. Kemudian beliau berkata: biarkanlah apa yang ku tinggalkan; bahwa umat yang sebelum kalian telah celaka karena pertanyaan mereka terlalu banyak, begitu juga perselisihan mereka terhadap para nabi. Apabila kalian ku perintahkan dengan sesuatu, kerjakan yang dapat dilaksanakan; dan apabila kalian kularang tentang susuatu, maka tinggalkanlah.”[4] 
Ibadah haji merupakan ibadah yang unik karena pelaksanaannya melibatkan banyak hal, baik yang bersifat internal maupun internal.dalam aspek internal, seorang yang hendak ibadah haji haruslah memiliki kemampuan  baik fisik maupun nonfisik. Pada aspek eksternal, pelaksanaan ibadah haji lebih rumit disbandingkan aspek internal, karena pelasaan ibadah haji juga berkaitan dengan politik antara pemerintah seorang calon haji dengan pemerintah Arab Saudi.
Pada aspek eksternal ini, sebagaimana yang disamapaikan dalam pengantar redaksi buku Historiografi Haji Indonesia karya M. shaleh Putuhena, pelaksanaan ibadah haji melibatkan banyak unsur, seperti unsur sosial, politik, dan budaya. Dalam unsure sosial, terdapat dukungan masyarakat yang bias mempermudah proses pelaksanaan haji, seperti acara pengajian, ritual sebelum berangkat, dan do’a. berbagai proses pelaksanaan haji diyakini menjadi serangkaian acara yang mampu mengintegrasikan segenap kekuatan dan ketulusan calon haji. Sedangkan unsur politik, terdapat dukungan yang berkaitan dengan urusan administratif yang melibatkan stake holder pemerintah yang berkompeten dalam bidang persiapan pemberangkatan haji. sementara dalam unsure budaya terdapat dukungan moril yang berkaitan dengan penguatan identitas, dimana bagi orang yang telah menunaikan haji memperoleh tempat yang berbeda dari pada masyarakat lainnya.[5]
Pada aspek-aspek inilah yang membedakan ibadah haji dengan rukun iman yang lainnya atau ibadah lainnya. Pelaksanaan haji yang dilaksanakan setiap tahun oleh berjuta-juta umat islam dari seluruh dunia, memungkinkan para jamaah haji untuk saling mengenal kebudayaan masing-masing, dan juga terkadang dijadikan sebagai kesempatan untuk menuntut ilmu kepada para ulama di Makkah. Sebagaiman yang terjadi pada abad ke 19 dan awal abad 20, dimana musim haji dijadikan kesempatan untuk menuntut ilmu oleh para pelajar Indonesia kepada ulama Mekkah.
Ibadah haji selain memiliki dimensi vertikal, yakni ketaatan seorang hamba kepada Allah dengan melaksanakan haji yang merupakan rukun yang kelima yang dapat meningkatkan kemimanan mereka, juga memiliki dimensi horizontal yang berupa amal shaleh yaitu kegiatan yang bernilai prikemanusiaan. Dua dimensi in dapat kita lihat pada proses pelaksanaan ibadah haji.
Pakaian ihram itu putih-putih. Putih itu tanpa warna, melambangkan bahwa kita tidak mempenyai klaim mengaku baik (paling baik). Berkaitan juga dengan warna putih adalah sikap rendah diri. Karena itu, ketika kita memakai baju ihram, sebetulnya kita sedang melepaskan atribut-atribut yang biasa menempel pada diri kita. Dengan pakaian ihram, kira kira kita disuruh kembali pada yang paling generic, paling universal (umum). Dengan begitu kita semua menjadi sama. Dalam keadaan seperti inilah kita menghadap pada Allah SWT.[6]
Selanjutnya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya pada buku Perjalanan Religius ‘Umrah dan haji, karya Nurchalis Madjid, mengatakan: ketika kita mengenakan pakaian ihram, kita lepaskan semua label-label, semua keangkuhan, semua kebanggaan yang bersifat duniawi. Kita melepaskan semua itu, kemudian kita menggunakan kain kafan, dan pada saat itulah kita menyadari bahwa kita tak punya apa-apa yang kita banggakan sebagai bekal di hadapan Allah SWT, kecuali amal saleh kita. Dengan demikian, kita disadarkan, diajak merenung, sesungguhnya apa misi dan eksistensi hidup ini. Bila itu semua dilakukan secara maksimal, berlakulah sabda nabi Muhammad bahwa siapapun sepulang dari umrah atau haji, dia bagaikan anak kecil. Artinya segala dosa-dosa orang itu diampuni. Tapi lebih dari itu, sesungguhnya berarti kelahiran kembali. Karenanya, sepulang melakukan ibadah umrah atau haji, orang tersebut akan mempunyai pandangan baru terhadap dunia, terhadap keluarganya, hartanya, dan segala perbuatannya. Ia akan memandang bahwa semua itu hanya akan bermakna jika segala aktifitas yang bersifat instrumental itu menjadikannya dirinya makin takwa kepadanya.
Selanjutnya adalah wukuf di arafah, ritual ini juga memiliki dimensi horizontal. Hal ini dapat kita hayati lewat pengalaman berkumpul dalam satu tempat dengan semua kelompok umat manusia, dari segala warna, kulit, bahasa, dari segala tempat dan budaya, serta dari segala lapisan ekonomi dan sosial.[7] dengan ritual semacam ini, maka akan tumbuh kesadaran dalam setiap diri jamaah haji bahwa seluruh umat muslim adalah sama derajatnya, yang membedakannya hanyalah ketakwaan, dan akan timbul pula ukhuwah islamiyah yang kuat.
Setelah kita sempurna melaksanakan ibadah haji, maka kita akan memperoleh haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Perlu difahami bahwa perkataan “mabrur” sendiri berarti mendapat “al-birr” atau kebajikan, dan dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa orang tidak akan mendapatkan kebajikan kecuali mendermakan sebagian dari harta yang dicintainya. Ini semua tidak lain karena salah satu tujuan menegakkan nilai kemanusiaan universal adalah tegaknya keadilan sosial, dengan usaha menolong kaum miskin dan semua mereka yang tidak mampu serta kegiatan yang memerlukan biaya, demi kepentingan umum.[8]


[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djamban, 1993), hal. 31
[2] Hafidh Ali Abbas Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Bakar Muhibuddin al-Thabari, al-Qira Li Qashid Am al-Qura (Beirut: al-maktabah al-Ilmiyah,tth), hal. 49
[3] M. Dien majid, Berhaji Dimasa colonial (Jakarta: CV sejahtera, 2008), hal. 23

[5]  Muhammad Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. 1, hal. 
[6] Nurchalish Madjid, Perjalanan Religius ‘Umrah dan haji, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. 1, hal.11-12
[7] Nurcholis Madjid, Dialog ramadhan Bersama Cak Nur, (Jakarta: Paramdina,2000), cet. 1, hal. 21
[8]  Ibid,. 22