Haji secara
etimologi berarti “pergi, berkunjung” atau “ziarah kesuatu tempat”. Menurut
istilah, haji adalah berkunjung ke Baitullah, Ka’bah, untuk melaksanakan ibadah
dengan cara tertentu yang dilaksanakan pada Sembilan hari pertama dzulhijjah
samapai terbit fajar hari kesepuluh atau yang disebut Yaum Al-Nahr (hari raya
haji), dalam waktu dan tempat tertentu.[1]
Dalam konteks
sejarah, ibadah haji telah dikenal sejak masa Nabi Ibrahim a.s. pada waktu itu
beliau bersama putranya, Ismail, diamanatkan Allah untuk membangun Ka’bah dan
mengajak kaumnya untuk mengunjunginya sebagai bentuk pentauhidan kepada Allah.
Ketika Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, turun perintah Allah melalui
malaikat Jibril untuk melakukan thawaf tujuh kali dan berlari-lari kecil antara
shafa dan marwah. Peristiwa ini merujuk kepada pencarian Siti Hajar akan air
ditengah terik panas yang memantulkan fatamorgana, bagaikan air memancar dari
bumi. Aktifitas ini diakhiri dengan melaksanakan shalat sunat dua rakaat.[2]
Ulama sepakat
atas wajibnya haji, dengan merujuk kepada Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 97
yang berbunyi:
فيه ءايات بيّنات مقام إبراهيم ومن دخله كان ءامنا ولله
على الناس حجّ البيت من استطع إليه سبيلا ومن كفر فإنّ الله غنيّ عن العالمين.
Artinya: “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam
Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barabg siapa mengingkari (kewajiban
haji) maka sesunggunhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam”.
Ayat tersebut dujelaskan dalam hadits nabi Muhammad SAW. Berbunyi:[3]
عن أبى هريرة قال خطبنا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم:
أيّها الناس قد فرض الله عليكم الحجّ فحجّوا. فقال رجل: أكل عام يا رسول الله،
فسكت حتّى قالها ثلاثا، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "لو قلت نعم،
ولما استطعتم ثم قال درونى ما تركتم فإنّما هلك من كان من قبلكم بكثرة سؤالهم على
أنبيائهم، فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم، وإذا نهيتكم عن شيء
فدعوه". (رواه أحمد و مسلم)
Artinya: “dari Abi Hurairah berkata: “pada khutbah rasullah SAW kepada
kami, beliau bersabda, Wahai manusia: sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji
atas kalian, maka berhajilah. Lalu bertanya seorang laki-laki: apakah setiap
tahun ya Rasullah? Nabi berdiam diri sehingga pertanyaan ini di ulanginya tiga
kali; maka Nabi manjawab: sekiranya kukatakan “ya”, maka akan menjadi wajib dan
kalian tentu tidak sanggup melakukannya. Kemudian beliau berkata: biarkanlah
apa yang ku tinggalkan; bahwa umat yang sebelum kalian telah celaka karena
pertanyaan mereka terlalu banyak, begitu juga perselisihan mereka terhadap para
nabi. Apabila kalian ku perintahkan dengan sesuatu, kerjakan yang dapat
dilaksanakan; dan apabila kalian kularang tentang susuatu, maka tinggalkanlah.”[4]
Ibadah haji merupakan ibadah yang unik karena pelaksanaannya melibatkan
banyak hal, baik yang bersifat internal maupun internal.dalam aspek internal,
seorang yang hendak ibadah haji haruslah memiliki kemampuan baik fisik maupun nonfisik. Pada aspek
eksternal, pelaksanaan ibadah haji lebih rumit disbandingkan aspek internal,
karena pelasaan ibadah haji juga berkaitan dengan politik antara pemerintah
seorang calon haji dengan pemerintah Arab Saudi.
Pada aspek eksternal ini, sebagaimana yang disamapaikan dalam pengantar
redaksi buku Historiografi Haji Indonesia karya M. shaleh Putuhena, pelaksanaan
ibadah haji melibatkan banyak unsur, seperti unsur sosial, politik, dan budaya.
Dalam unsure sosial, terdapat dukungan masyarakat yang bias mempermudah proses
pelaksanaan haji, seperti acara pengajian, ritual sebelum berangkat, dan do’a.
berbagai proses pelaksanaan haji diyakini menjadi serangkaian acara yang mampu
mengintegrasikan segenap kekuatan dan ketulusan calon haji. Sedangkan unsur
politik, terdapat dukungan yang berkaitan dengan urusan administratif yang
melibatkan stake holder pemerintah yang berkompeten dalam bidang
persiapan pemberangkatan haji. sementara dalam unsure budaya terdapat dukungan
moril yang berkaitan dengan penguatan identitas, dimana bagi orang yang telah
menunaikan haji memperoleh tempat yang berbeda dari pada masyarakat lainnya.[5]
Pada aspek-aspek inilah yang membedakan ibadah haji dengan rukun iman
yang lainnya atau ibadah lainnya. Pelaksanaan haji yang dilaksanakan setiap tahun
oleh berjuta-juta umat islam dari seluruh dunia, memungkinkan para jamaah haji
untuk saling mengenal kebudayaan masing-masing, dan juga terkadang dijadikan
sebagai kesempatan untuk menuntut ilmu kepada para ulama di Makkah. Sebagaiman
yang terjadi pada abad ke 19 dan awal abad 20, dimana musim haji dijadikan kesempatan
untuk menuntut ilmu oleh para pelajar Indonesia kepada ulama Mekkah.
Ibadah haji selain memiliki dimensi vertikal, yakni ketaatan seorang
hamba kepada Allah dengan melaksanakan haji yang merupakan rukun yang kelima
yang dapat meningkatkan kemimanan mereka, juga memiliki dimensi horizontal yang
berupa amal shaleh yaitu kegiatan yang bernilai prikemanusiaan. Dua dimensi in
dapat kita lihat pada proses pelaksanaan ibadah haji.
Pakaian ihram itu putih-putih. Putih itu tanpa warna, melambangkan bahwa
kita tidak mempenyai klaim mengaku baik (paling baik). Berkaitan juga dengan
warna putih adalah sikap rendah diri. Karena itu, ketika kita memakai baju
ihram, sebetulnya kita sedang melepaskan atribut-atribut yang biasa menempel
pada diri kita. Dengan pakaian ihram, kira kira kita disuruh kembali pada yang
paling generic, paling universal (umum). Dengan begitu kita semua menjadi sama.
Dalam keadaan seperti inilah kita menghadap pada Allah SWT.[6]
Selanjutnya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya pada
buku Perjalanan Religius ‘Umrah dan haji, karya Nurchalis Madjid,
mengatakan: ketika kita mengenakan pakaian ihram, kita lepaskan semua
label-label, semua keangkuhan, semua kebanggaan yang bersifat duniawi. Kita
melepaskan semua itu, kemudian kita menggunakan kain kafan, dan pada saat
itulah kita menyadari bahwa kita tak punya apa-apa yang kita banggakan sebagai
bekal di hadapan Allah SWT, kecuali amal saleh kita. Dengan demikian, kita
disadarkan, diajak merenung, sesungguhnya apa misi dan eksistensi hidup ini.
Bila itu semua dilakukan secara maksimal, berlakulah sabda nabi Muhammad bahwa
siapapun sepulang dari umrah atau haji, dia bagaikan anak kecil. Artinya segala
dosa-dosa orang itu diampuni. Tapi lebih dari itu, sesungguhnya berarti
kelahiran kembali. Karenanya, sepulang melakukan ibadah umrah atau haji, orang
tersebut akan mempunyai pandangan baru terhadap dunia, terhadap keluarganya,
hartanya, dan segala perbuatannya. Ia akan memandang bahwa semua itu hanya akan
bermakna jika segala aktifitas yang bersifat instrumental itu menjadikannya
dirinya makin takwa kepadanya.
Selanjutnya adalah wukuf di arafah, ritual ini juga memiliki dimensi
horizontal. Hal ini dapat kita hayati lewat pengalaman berkumpul dalam satu
tempat dengan semua kelompok umat manusia, dari segala warna, kulit, bahasa,
dari segala tempat dan budaya, serta dari segala lapisan ekonomi dan sosial.[7] dengan ritual semacam ini, maka akan
tumbuh kesadaran dalam setiap diri jamaah haji bahwa seluruh umat muslim adalah
sama derajatnya, yang membedakannya hanyalah ketakwaan, dan akan timbul pula
ukhuwah islamiyah yang kuat.
Setelah kita sempurna melaksanakan ibadah haji, maka kita akan
memperoleh haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Perlu difahami
bahwa perkataan “mabrur” sendiri berarti mendapat “al-birr” atau
kebajikan, dan dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa orang tidak akan mendapatkan
kebajikan kecuali mendermakan sebagian dari harta yang dicintainya. Ini semua
tidak lain karena salah satu tujuan menegakkan nilai kemanusiaan universal
adalah tegaknya keadilan sosial, dengan usaha menolong kaum miskin dan semua
mereka yang tidak mampu serta kegiatan yang memerlukan biaya, demi kepentingan
umum.[8]
[1] Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djamban, 1993),
hal. 31
[2] Hafidh Ali Abbas Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Bakar
Muhibuddin al-Thabari, al-Qira Li Qashid Am al-Qura (Beirut: al-maktabah
al-Ilmiyah,tth), hal. 49
[6] Nurchalish Madjid, Perjalanan Religius
‘Umrah dan haji, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. 1, hal.11-12