Jumat, 04 November 2011

Hikmah Tersirat Ibadah Haji

Haji secara etimologi berarti “pergi, berkunjung” atau “ziarah kesuatu tempat”. Menurut istilah, haji adalah berkunjung ke Baitullah, Ka’bah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara tertentu yang dilaksanakan pada Sembilan hari pertama dzulhijjah samapai terbit fajar hari kesepuluh atau yang disebut Yaum Al-Nahr (hari raya haji), dalam waktu dan tempat tertentu.[1]
Dalam konteks sejarah, ibadah haji telah dikenal sejak masa Nabi Ibrahim a.s. pada waktu itu beliau bersama putranya, Ismail, diamanatkan Allah untuk membangun Ka’bah dan mengajak kaumnya untuk mengunjunginya sebagai bentuk pentauhidan kepada Allah. Ketika Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, turun perintah Allah melalui malaikat Jibril untuk melakukan thawaf tujuh kali dan berlari-lari kecil antara shafa dan marwah. Peristiwa ini merujuk kepada pencarian Siti Hajar akan air ditengah terik panas yang memantulkan fatamorgana, bagaikan air memancar dari bumi. Aktifitas ini diakhiri dengan melaksanakan shalat sunat dua rakaat.[2]
Ulama sepakat atas wajibnya haji, dengan merujuk kepada Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 97 yang berbunyi:
فيه ءايات بيّنات مقام إبراهيم ومن دخله كان ءامنا ولله على الناس حجّ البيت من استطع إليه سبيلا ومن كفر فإنّ الله غنيّ عن العالمين.
Artinya: “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barabg siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesunggunhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Ayat tersebut dujelaskan dalam hadits nabi Muhammad SAW. Berbunyi:[3]
عن أبى هريرة قال خطبنا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أيّها الناس قد فرض الله عليكم الحجّ فحجّوا. فقال رجل: أكل عام يا رسول الله، فسكت حتّى قالها ثلاثا، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "لو قلت نعم، ولما استطعتم ثم قال درونى ما تركتم فإنّما هلك من كان من قبلكم بكثرة سؤالهم على أنبيائهم، فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم، وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه". (رواه أحمد و مسلم)
Artinya: “dari Abi Hurairah berkata: “pada khutbah rasullah SAW kepada kami, beliau bersabda, Wahai manusia: sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah. Lalu bertanya seorang laki-laki: apakah setiap tahun ya Rasullah? Nabi berdiam diri sehingga pertanyaan ini di ulanginya tiga kali; maka Nabi manjawab: sekiranya kukatakan “ya”, maka akan menjadi wajib dan kalian tentu tidak sanggup melakukannya. Kemudian beliau berkata: biarkanlah apa yang ku tinggalkan; bahwa umat yang sebelum kalian telah celaka karena pertanyaan mereka terlalu banyak, begitu juga perselisihan mereka terhadap para nabi. Apabila kalian ku perintahkan dengan sesuatu, kerjakan yang dapat dilaksanakan; dan apabila kalian kularang tentang susuatu, maka tinggalkanlah.”[4] 
Ibadah haji merupakan ibadah yang unik karena pelaksanaannya melibatkan banyak hal, baik yang bersifat internal maupun internal.dalam aspek internal, seorang yang hendak ibadah haji haruslah memiliki kemampuan  baik fisik maupun nonfisik. Pada aspek eksternal, pelaksanaan ibadah haji lebih rumit disbandingkan aspek internal, karena pelasaan ibadah haji juga berkaitan dengan politik antara pemerintah seorang calon haji dengan pemerintah Arab Saudi.
Pada aspek eksternal ini, sebagaimana yang disamapaikan dalam pengantar redaksi buku Historiografi Haji Indonesia karya M. shaleh Putuhena, pelaksanaan ibadah haji melibatkan banyak unsur, seperti unsur sosial, politik, dan budaya. Dalam unsure sosial, terdapat dukungan masyarakat yang bias mempermudah proses pelaksanaan haji, seperti acara pengajian, ritual sebelum berangkat, dan do’a. berbagai proses pelaksanaan haji diyakini menjadi serangkaian acara yang mampu mengintegrasikan segenap kekuatan dan ketulusan calon haji. Sedangkan unsur politik, terdapat dukungan yang berkaitan dengan urusan administratif yang melibatkan stake holder pemerintah yang berkompeten dalam bidang persiapan pemberangkatan haji. sementara dalam unsure budaya terdapat dukungan moril yang berkaitan dengan penguatan identitas, dimana bagi orang yang telah menunaikan haji memperoleh tempat yang berbeda dari pada masyarakat lainnya.[5]
Pada aspek-aspek inilah yang membedakan ibadah haji dengan rukun iman yang lainnya atau ibadah lainnya. Pelaksanaan haji yang dilaksanakan setiap tahun oleh berjuta-juta umat islam dari seluruh dunia, memungkinkan para jamaah haji untuk saling mengenal kebudayaan masing-masing, dan juga terkadang dijadikan sebagai kesempatan untuk menuntut ilmu kepada para ulama di Makkah. Sebagaiman yang terjadi pada abad ke 19 dan awal abad 20, dimana musim haji dijadikan kesempatan untuk menuntut ilmu oleh para pelajar Indonesia kepada ulama Mekkah.
Ibadah haji selain memiliki dimensi vertikal, yakni ketaatan seorang hamba kepada Allah dengan melaksanakan haji yang merupakan rukun yang kelima yang dapat meningkatkan kemimanan mereka, juga memiliki dimensi horizontal yang berupa amal shaleh yaitu kegiatan yang bernilai prikemanusiaan. Dua dimensi in dapat kita lihat pada proses pelaksanaan ibadah haji.
Pakaian ihram itu putih-putih. Putih itu tanpa warna, melambangkan bahwa kita tidak mempenyai klaim mengaku baik (paling baik). Berkaitan juga dengan warna putih adalah sikap rendah diri. Karena itu, ketika kita memakai baju ihram, sebetulnya kita sedang melepaskan atribut-atribut yang biasa menempel pada diri kita. Dengan pakaian ihram, kira kira kita disuruh kembali pada yang paling generic, paling universal (umum). Dengan begitu kita semua menjadi sama. Dalam keadaan seperti inilah kita menghadap pada Allah SWT.[6]
Selanjutnya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya pada buku Perjalanan Religius ‘Umrah dan haji, karya Nurchalis Madjid, mengatakan: ketika kita mengenakan pakaian ihram, kita lepaskan semua label-label, semua keangkuhan, semua kebanggaan yang bersifat duniawi. Kita melepaskan semua itu, kemudian kita menggunakan kain kafan, dan pada saat itulah kita menyadari bahwa kita tak punya apa-apa yang kita banggakan sebagai bekal di hadapan Allah SWT, kecuali amal saleh kita. Dengan demikian, kita disadarkan, diajak merenung, sesungguhnya apa misi dan eksistensi hidup ini. Bila itu semua dilakukan secara maksimal, berlakulah sabda nabi Muhammad bahwa siapapun sepulang dari umrah atau haji, dia bagaikan anak kecil. Artinya segala dosa-dosa orang itu diampuni. Tapi lebih dari itu, sesungguhnya berarti kelahiran kembali. Karenanya, sepulang melakukan ibadah umrah atau haji, orang tersebut akan mempunyai pandangan baru terhadap dunia, terhadap keluarganya, hartanya, dan segala perbuatannya. Ia akan memandang bahwa semua itu hanya akan bermakna jika segala aktifitas yang bersifat instrumental itu menjadikannya dirinya makin takwa kepadanya.
Selanjutnya adalah wukuf di arafah, ritual ini juga memiliki dimensi horizontal. Hal ini dapat kita hayati lewat pengalaman berkumpul dalam satu tempat dengan semua kelompok umat manusia, dari segala warna, kulit, bahasa, dari segala tempat dan budaya, serta dari segala lapisan ekonomi dan sosial.[7] dengan ritual semacam ini, maka akan tumbuh kesadaran dalam setiap diri jamaah haji bahwa seluruh umat muslim adalah sama derajatnya, yang membedakannya hanyalah ketakwaan, dan akan timbul pula ukhuwah islamiyah yang kuat.
Setelah kita sempurna melaksanakan ibadah haji, maka kita akan memperoleh haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Perlu difahami bahwa perkataan “mabrur” sendiri berarti mendapat “al-birr” atau kebajikan, dan dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa orang tidak akan mendapatkan kebajikan kecuali mendermakan sebagian dari harta yang dicintainya. Ini semua tidak lain karena salah satu tujuan menegakkan nilai kemanusiaan universal adalah tegaknya keadilan sosial, dengan usaha menolong kaum miskin dan semua mereka yang tidak mampu serta kegiatan yang memerlukan biaya, demi kepentingan umum.[8]


[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djamban, 1993), hal. 31
[2] Hafidh Ali Abbas Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Bakar Muhibuddin al-Thabari, al-Qira Li Qashid Am al-Qura (Beirut: al-maktabah al-Ilmiyah,tth), hal. 49
[3] M. Dien majid, Berhaji Dimasa colonial (Jakarta: CV sejahtera, 2008), hal. 23

[5]  Muhammad Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. 1, hal. 
[6] Nurchalish Madjid, Perjalanan Religius ‘Umrah dan haji, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. 1, hal.11-12
[7] Nurcholis Madjid, Dialog ramadhan Bersama Cak Nur, (Jakarta: Paramdina,2000), cet. 1, hal. 21
[8]  Ibid,. 22

Kamis, 27 Oktober 2011

kebebasan adalah pilihan yang hanya bisa dibuat olehmu sendiri:
kau hanya diikat oleh belenggu ketakutanmu...

Rabu, 26 Oktober 2011

Makhluk Terindah

Wahai Tuhan.....
makhluk apa yang telah engkau ciptakan
di hati ini begitu  terasa indah dan menawan
siapa yang melihatnya tertawanlah hatinya dalam penjara emas dan berlian
sungguh Engkau telah menciptakan Makhluk yang paling menawan....

Tuhan....
untuk siapa engkau ciptakan gadis yang menawan
senyumnya laksana sinar mentari pagi di musim semi
tatapan matanya laksana tatapan sang rembulan
kehadirannya laksana air di gurun Ghobi

Tuhan...
izinkanlah aku membelainya dibawah naungan bulan purnama
bersua dalam canda dan tawa
berdua dalam ikatan cinta
cinta suci, sesuci telaga kautsar

TAWADHU’

Persoalan moral dan akhlak merupakan persoalan besar dan persoalan yang menjadikannya sebagai penentu dalam setiap gerakan, tindakan dan kebijakan. Maka persoalan moral harus mendapat perhatian semua pihak untuk menciptakan impian setiap umat dalam kehidupan.
Salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian kita adalah persoalan TAKABUR yang berakibat dari beberapa sifat negatif, antara lain: merasa memiliki, merasa menguasai, merasa lebih, merasa mampu, merasa kuat, dll.
Akhirnya manusia sebagai makhluk Allah yang sangat diharapkan untuk dapat membangun suatu keadilan yang merupakan sumber hasanah fid dunya, tidak lagi berjalan sebagaimana diharapkan. Malah hasanah fid dunya itu sendiri menjadi korban takaburnya penghuni alam ini.
Untuk itu manusia sebagai makhluk Allah yang sangat menentukan terhadap hasanah fid dunya, rasanya wajib memiliki sifat TAWADHU’ yang akan membentuk kepribadian dan jati diri kita dalam kehidupan. Tanpa sifat ini, rasanya mustahil kita akan maju, malah akan terjadi benturan dimana-mana.
Dan Tawadhu’ merupakan salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. dengan tawadhu’, seorang hamba akan senantiasa merendahkan diri dihadapan-Nya dan seluruh ciptaannya, sehingga ia akan senantiasa terhindar dari sifat takabbur yang akan membawa ia pada kemunduran dan kehinanaan, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.
Sedangkan teladan yang paling utama yang harus selalu menjadi panutan oleh setiap umat islam ialah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah pemimpin orang-orang yang tawadhu’. Ketika beliau member tahu derajat dan posisi beliau di sisi Allah, beliau mengiringinya dengan ucapan, “…….. tanpa ada kesombongan”. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ، وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِيْ، وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ، وَلاَ فَخْرَ. (رواه الترميذي)
Artinya: “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari Kiamat, tanpa ada kesombongan. Di tanganku ada bendera puji-pujian, tanpa ada kesombongan. Tidak ada seorang Nabi pun – Adam dan selainnya ketika itu, kecuali berada dibawah benderaku, tanpa ada kesombongan. Aku adalah orang yang pertama yang memberikan syafaat dan orang yang pertama dalam mendapat syafaat, tanpa ada kesombongan.” (HR Tirmidzi)

  A.   Pengertian Tawadhu’
Kata Tawadhu’ merupakan kata serapan dari bahasa arab, yaitu تَوَاضُعْ yang berarti التَذَلُّل. sedangkan menurut bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia, Tawadhu adalah rendah hati, patuh; taat. Tawadhu’ menurut istilah adalah memperlihatkan kerendahan kepada orang yang hendak diagungkan. Sedangkan menurut Hasan al-Bashri, Tawadhu’ yaitu ketika kamu keluar rumah dan melihat orang lain selalu memiliki kelebihan dibandingkan dengan dirimu.
Tawadu’ merupakan sikap rendah hati yang dimiliki oleh orang yang dapat mengendalikan nafsunya tatkala mendapat yang lebih dari orang lain, dan dapat menyebabkan orang sombong. Sikap ini akan membuahkan perilaku baik, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya. Fudail bin ‘Iyad, mengatakan, bahwa orang mutawadhi’ ialah orang yang tunduk dan taat melaksanakan yang haq (benar) serta mau menerima kebenaran dari siapapun.
Yahya bin Mu’ad menegaskan, “kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi orang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang, tetapi yang paling menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tawadhu’ memiliki dua makna, yaitu:
1.     Pasrah
Tawadhu’ memiliki dua makna. Pertama,pasrah terhadap kebenaran serta menerima kebenaran tersebut dari siapa pun datangnya,baik miskin atau kaya,mulia atau hina,kuat atau lemah,lawan atau teman.
2.     Lemah lembut
Makna kedua dari tawadhu’ adalah menundukkan pundak Anda terhadap orang lain.Artinya bergaul dengan orang lain secara lemah lembut,siapa pun mereka,baik pelayan atau yang dilayani,orang mulia atau terhina.

 B.   Hidayah al-Qur’an tentang Tawadhu’
Tawadhu merupakan sifat hamba-hamba Allah. Hal ini tercantum dalam firman-Nya,
وَعِبَادُ الرَّحْمنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجهِلُوْنَ قَالُوْا سَلَمًا. (الفرقان: 63)
Artinya:
 “adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati…..”
Syaikh Abu Ali ad-daqqaq mengatakan, bahwa makna ayat ini adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’.
Allah swt. Berfirman:
ولا تصعّر خذّك للناس ولا تمش فى الأرض مرحا إنّ الله لا يحبّ كلّ مختال فخور. (سورة لقمان: 18)
Artiny: “dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

  C.   Hidayah Assunnah tentang Tawadhu’
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "لا يدخل الجنّة من كان فى قلبه مثقال ذرّة من كبر، ولا يدخل النار من فى قلبه مثقال ذرّة من إيمان. فقال رجل: إنّ الرجل يحبّ أن يكون ثوبه حسنا؟ فقال: إنّ الله جميل يحبّ الجمال، الكبر بطر الحقّ وغمط الناس.  ". (رواه المسلم)
Artinya: “tidak akan masuk surge, barang siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barang siapa yang dalam hatinya terdapat iman walau sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berpakaian bagus? Beliau menjawab, “Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan; sombong adalah berpaling dari yang al-Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim)

Dan didalam hadts lain, Rasulullha Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما نقصت صدقة من مال، وما زاد الله عبدا بعفو إلاّ عزّا، ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله. رواه المسلم
Artinya: “Shadaqah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah hamba yang memaafkan kecuali kemulyaan. Tidaklah seseorang bertawadhu’ kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.
Dan Rasulullah juga mencela orang yang Takabbur didalam hadits kudsi beliau bersabda:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال أنّه قال الله تعالى: الكبرياء ردائي، والعظمة إزاري، فمن نازعني فيهما ألقيته فى النار ولا أبالى. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “ dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi bersabda, Allah Ta’ala berfirman: kesombongan adalah pakaian-Ku, dan keagungan adalah kain penutup-Ku, maka barang siapa yang menariknya dari-Ku maka akan Aku jatuhkan kedalam neraka dan tidak akan usai.”
  D.   Contoh-contoh Tawadhu
1.     Tawadhu’ Dalam negara
Sangat layak bagi seorang pemimpin menjadikan Rasulullah sebagai teladannya, dimana  nabi Muhammad s.a.w sebagai seorang pemimpin umat hidup jauh daripada kemewahan, beliau hidup dengan penuh kesederhanaan, dan senang bergaul dengan fakir miskin, sebagaimana dalam hadits berikut:
وأخرج الحاكم في المستدرك برقم : [ 3735 ] فقال : عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن أبيه رضى الله تعالى عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي ضعفاء المسلمين ويزورهم ويعود مرضاهم ويشهد جنائزهم.

Dari Abu Salamah: saya berkata kepada Abu Sa’id al-Khudri, “bagaimana penilaian anda tentang  cara berpakaian, minum, berkendaraan dan makannya orang sekarang?” Dia berkata, “hai saudaraku, makanlah karena Allah, minumlah karena Allah dan berpakaianlah karena Allah. Karena sesuatu yang dimasuki kesombongan, kebanggaan dan pamer atau agar terkenal adalah kemaksiatan dan pemborosan. Dan laksanakanlah dirumahmu pekerjaan-pekerjaan seperti yang dilaksanakan Rasulullah dikediaman beliau. Member makan, meberi minum dan menambatkan onta, menyapu rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menambal baju, makan bersama pembantu beliau, menggilingkan tepung untuknyabila kecapaian, membeli sesuatu dari pasar, tidak malu membawanya sendiri dan menggandengnya dengan ujung baju beliau untuk dibawa kekeluarga, berjabat tangan bersama-sama orang kaya dan fakir miskin, besar dan kecil, mendahului salam kepada setiap orang yang menjumpainya, anak kecil maupun orang tua, hitam maupun merah, merdeka maupun budak, yaitu mereka yang mengerjakan shalat, yakni kaum mukmin.”

Tawadhu’ dalam berumah tangga, kita dapat mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia bersikap tawadhu’ (rendah diri) dihadapan istri-istrinya, sampai-sampai beliau membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga –meskipun ditengah kesibukan beliau menunaikan kewajiban beliau untuk menyampaikan risalah Allah atau kesibukan mengatur kaum muslimin.
Aisyah berkata, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi sholat”. (HR Al-Bukhari)
Imam Al-Bukhari membawakan perkataan Aisyah ini dalam dua bab yaitu “Bab tentang bagaimanakah seorang (suami) di keluarganya (istrinya)?” dan “Bab seseorang membantu istrinya”.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ. (رواه ابن حبّان)
Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember”. (HR Ibnu Hibban)

  E.   Kesimpulan
dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Tawadu’ merupakan salah satu akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap umat islam. Tawadhu memiliki dia pengertian, yaitu:  Pertama, pasrah terhadap kebenaran serta menerima kebenaran tersebut dari siapa pun datangnya,baik miskin atau kaya,mulia atau hina,kuat atau lemah,lawan atau teman. Kedua, Lemah lembut adalah menundukkan pundak Anda terhadap orang lain.Artinya bergaul dengan orang lain secara lemah lembut,siapa pun mereka,baik pelayan atau yang dilayani,orang mulia atau terhina.
Dan dalam hal ini sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.

F.    Saran
Tawadhu’ merupakan salah satu akhlak mulia yang akan mengantarak orang yang tawadhu’ kepada kemulyaan, baik disisi Allah maupun pada sesama makhluk hidup. Oleh karena itu, hendaknya setiap umat islam bersikap tawadhu’ dalam segala aktifitasnya baik dalam berbisnis, berumah tangga, bermasyarakat, bernegaraa dan lain-lain. Dan senantiasa meneladani Rasulullah dalam segala aktifitasnya, karena beliaulah panutan bagi umat islam.

  G.  Refrensi:
1.     Muhammad al-Mishri. Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Jakarta. Pena Pundi Aksara. 2009
2.     Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008
3.     Ibnu Mandzur. Lisanul’arab. Bairut. Dar al-Fikr. 1990
4.     Ensiklopedi Tasawuf, disusun oleh Tim penyusun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.     Al-Qusyairy al-Nisaibury. Al-Risalah al-Qusyairiyah. Bairut. Darulkutub al-‘Ilmiyah. 2005
6.     Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim. Jakarta. Darul Haq. 2008


Selasa, 25 Oktober 2011

ketika waktu berlalu makin lama makin cepat dalam hidup ini,
bagaimana kita menyisihkan waktu untuk hal-hal yang benar-benar penting?

bagaimana kita bisa menemukan kekasih sejati
jika kita menutup diri karena takut disakiti?

bagaimana kita bisa meresapi setiap momen yang ada
kalau pikiran kita senantiasa hinggap dimasa lalu atau masa depan?

apakah terlalu banyak yang sudah kita korbankan?
masihkah kita ingat siapa diri kita ini?

tidak ada yang dapat menengkan pikiran kita, membuka hati kita, atau membantu kita mengerti,
karena semua ini harus bisa kita lakukan sendiri,
dan kebenaran akan datang kalau kita sudah siap menerimanya.

-Peter O'Conner-

Minggu, 23 Oktober 2011

Imam Syafi sebagai sastrawan dan penyair

B.    Imam Syafi sebagai sastrawan  dan penyair
Imam Syafi’I selain dikenal sebagai seorang pendiri mazhab fiqih, ia juga dikenal sebagai seorang yang mehir dalam sastra Arab, dan ia juga mengarang syi’ir-syi;ir arab yang terkumpul dalam diwannya, yaitu Diwan Syafi’i. hal ini tidaklah aneh, karena sebelum ia mendalami Fiqih, ia lebih dahulu mendalami sastra Arab dengan menghafal Syi’ir-syi;ir Imri il-Qais, Zuhaur ibn Sulma, dan Jarir. Selain itu ia belajar bahasa Arab langsung ke kabilah Bani Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihannya.
Dan imam Syafi’I juga meriwayatkan syi;ir al-Syanfariy. Dan al-Asma’iy bertemu dengan imam Syafi’I yang kemudian ia belajar darinya syi’ir al-Syanfarit dan syi;ir Huzail, dan juga belajar dari imam Syafi’I riwayatnya, penjelasannya, kefasihannya, dan kegharibannya. Abu Utsman al-Maziniy meriwayatkan: “saya mendengar al-Asma’iy berkata: saya belajar syi’ir al-Syanfari kepada imam Syafi’I di Makkah.”
Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, imam an-Nawawi mengatakan, imam Syafi’I adalah seorang pakar dibidang bahasa Arab dan ilmu nahwu. Ia belajar bahasa Arab selama 20 tahun, lengkap dengan ilmu balghah (sastra) dan fusha (bahasa arab fasih). Padahal ia sendiri adalah orang Arab, tinggal di Arab, dan bergaul dengan orang Arab.
Abu Na’im al-Istarbady bercerita bahwa ia mendengara Rabi’ inb Sulaiman berkata: apabila saya melihat imam Syafi’I dan kebagusan penjelasan dan kefasihan dia, maka saya kagum kepadanya. Dan apabila ia mengarang kitab-kitabnya ini dengan bahasa Arabnya – bahas Arab yang ia gunakan untuk berbicara dengan saya ketika berdiskusi, maka tidak akan mampu untuk membaca kitab-kitabnya karena kefasihan beliau dan lafaz-lafaz ia yang jarang di gunakan – hanya saja dalam mengarang, ia bersungguh-sungguh untuk menjelaskan kepada orang Awam.[1]
Prof. Abdul Halim al-jundi menejlaskan mengenai gaya bahasa yang sering digunakan Imam Syafi’i. menurutnya, ada tiga cirri utama karya Imam Syafi’I, yaitu:[2]
1.      Bahasnya fasih, artinya kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang tepat dan benar, serta mudah difahami.
2.      Kata-katanya ringkas, maksudnya adalah suatu karya yang menggunakan bahasa yang ringkas namun padat makna, menunjukkan kehebatan penulisnya dibidang ilmu balaghah (sastra arab).
3.      Menyentuh perasaan pembaca, ada beberapa factor yang membuat karya-karya Imam Syafi’I menyentuh perasaan pembaca. Diantaranya, yaitu:
a.       Bakat dirinya sebagai motifator ulung.
b.      Kelihaian menguntai retorika yang indah
c.       Keberhasilan menelaah syair-syair jahiliyah.

Majlis Imam syafi’I sering dikunjungi oleh para pakar bahasa dan sastrawan. Berkaitan dengan hal ini, Imam al-Karabisi berkata, “saya sama sekali belum pernah melihat sebuah majlis yang banyak dihadiri oleh orang-orang besar, kecuali imam Syafi’i. dimajlis itu hadir ahli hadits, ahli Fiqh, ahli syair, dan paka bahasa, mereka senua menimba ilmu dari majlis tersebut.”[3]
Dan ima Syafi’I sering membaca syair, sehingga dipembaringan saat detik-detik kematian akan menjemputnya. Mengenai hal ini, Imam al_muzani bercerita, “saya menjenguk Imam Syafi’I di saat sakit keras. Lalu saya bertanya kepadanya, ‘bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai ustadz?’ Ia menjawab, ‘pagi ini saya akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan saudara-saudaraku. Dan dengan kekeliruanku, saya akan menghadap Allah dan berharap dapat meneguk secangkir air surge. Demi Allah, saya tidak tahu apakah ruhku akan terbang ke surge dan berbahagia ataukah mampir ke neraka dan bersedih karenya. ’” kemudia ia mendendangkan syair-syair dibawah ini:[4]
Hanya kepada-Mu, wahai Tuhan segenap makhluk, kugantungkan harapan # meski aku sadar, diri ini berlumur dosa, wahai Dzat pemberi Anugerah.
Ketika hatiku membatu, dan jalanku buntu # agar selamat, kuberharap ampunan-Mu.
Engkau tak pernah bosan mengampuni dosa # Engkau selalu bersifat mulia dan memaafkan orang yang berdosa.
Andai bukan karena-Mu, iblis tak akan sanggup menggoda ahli ibadah # betapa tidak, Adam saja sempat dijerumuskan olehnya,
Andai Engkau mengampuniku, Engkaupun akan mengampuni pendurhaka # yang zalim dan kejam, yang terus berkutat dalam dosa.
Namun jika Engkau menyiksaku, maka aku tidak akan pupus harapan # karena dosaku, dalam jahannam  aku pantas dijebloskan.
Dari dulu sampai kini, dosaku memang besar # tapi ampunan-Mu, wahai dzat pemaaf, adalah lebih besar.


[1]  Sya’ban Muhammad Isma’il, al-Tasyri’ al-Islamiy: Mashadiruhu wa Athwaruhu (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyah,1958), cet. 2, hlm336
[2] Ahmad nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I (Jakarta: Mizan Publika, 2008), cet. 1, hlm.21
[3] Ahmad nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I… hlm 21
[4] Ar-Razi, Manaqib Imam Syafi’I, hlm. 113