Kamis, 27 Oktober 2011

kebebasan adalah pilihan yang hanya bisa dibuat olehmu sendiri:
kau hanya diikat oleh belenggu ketakutanmu...

Rabu, 26 Oktober 2011

Makhluk Terindah

Wahai Tuhan.....
makhluk apa yang telah engkau ciptakan
di hati ini begitu  terasa indah dan menawan
siapa yang melihatnya tertawanlah hatinya dalam penjara emas dan berlian
sungguh Engkau telah menciptakan Makhluk yang paling menawan....

Tuhan....
untuk siapa engkau ciptakan gadis yang menawan
senyumnya laksana sinar mentari pagi di musim semi
tatapan matanya laksana tatapan sang rembulan
kehadirannya laksana air di gurun Ghobi

Tuhan...
izinkanlah aku membelainya dibawah naungan bulan purnama
bersua dalam canda dan tawa
berdua dalam ikatan cinta
cinta suci, sesuci telaga kautsar

TAWADHU’

Persoalan moral dan akhlak merupakan persoalan besar dan persoalan yang menjadikannya sebagai penentu dalam setiap gerakan, tindakan dan kebijakan. Maka persoalan moral harus mendapat perhatian semua pihak untuk menciptakan impian setiap umat dalam kehidupan.
Salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian kita adalah persoalan TAKABUR yang berakibat dari beberapa sifat negatif, antara lain: merasa memiliki, merasa menguasai, merasa lebih, merasa mampu, merasa kuat, dll.
Akhirnya manusia sebagai makhluk Allah yang sangat diharapkan untuk dapat membangun suatu keadilan yang merupakan sumber hasanah fid dunya, tidak lagi berjalan sebagaimana diharapkan. Malah hasanah fid dunya itu sendiri menjadi korban takaburnya penghuni alam ini.
Untuk itu manusia sebagai makhluk Allah yang sangat menentukan terhadap hasanah fid dunya, rasanya wajib memiliki sifat TAWADHU’ yang akan membentuk kepribadian dan jati diri kita dalam kehidupan. Tanpa sifat ini, rasanya mustahil kita akan maju, malah akan terjadi benturan dimana-mana.
Dan Tawadhu’ merupakan salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. dengan tawadhu’, seorang hamba akan senantiasa merendahkan diri dihadapan-Nya dan seluruh ciptaannya, sehingga ia akan senantiasa terhindar dari sifat takabbur yang akan membawa ia pada kemunduran dan kehinanaan, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.
Sedangkan teladan yang paling utama yang harus selalu menjadi panutan oleh setiap umat islam ialah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah pemimpin orang-orang yang tawadhu’. Ketika beliau member tahu derajat dan posisi beliau di sisi Allah, beliau mengiringinya dengan ucapan, “…….. tanpa ada kesombongan”. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ، وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِيْ، وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ، وَلاَ فَخْرَ. (رواه الترميذي)
Artinya: “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari Kiamat, tanpa ada kesombongan. Di tanganku ada bendera puji-pujian, tanpa ada kesombongan. Tidak ada seorang Nabi pun – Adam dan selainnya ketika itu, kecuali berada dibawah benderaku, tanpa ada kesombongan. Aku adalah orang yang pertama yang memberikan syafaat dan orang yang pertama dalam mendapat syafaat, tanpa ada kesombongan.” (HR Tirmidzi)

  A.   Pengertian Tawadhu’
Kata Tawadhu’ merupakan kata serapan dari bahasa arab, yaitu تَوَاضُعْ yang berarti التَذَلُّل. sedangkan menurut bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia, Tawadhu adalah rendah hati, patuh; taat. Tawadhu’ menurut istilah adalah memperlihatkan kerendahan kepada orang yang hendak diagungkan. Sedangkan menurut Hasan al-Bashri, Tawadhu’ yaitu ketika kamu keluar rumah dan melihat orang lain selalu memiliki kelebihan dibandingkan dengan dirimu.
Tawadu’ merupakan sikap rendah hati yang dimiliki oleh orang yang dapat mengendalikan nafsunya tatkala mendapat yang lebih dari orang lain, dan dapat menyebabkan orang sombong. Sikap ini akan membuahkan perilaku baik, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya. Fudail bin ‘Iyad, mengatakan, bahwa orang mutawadhi’ ialah orang yang tunduk dan taat melaksanakan yang haq (benar) serta mau menerima kebenaran dari siapapun.
Yahya bin Mu’ad menegaskan, “kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi orang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang, tetapi yang paling menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tawadhu’ memiliki dua makna, yaitu:
1.     Pasrah
Tawadhu’ memiliki dua makna. Pertama,pasrah terhadap kebenaran serta menerima kebenaran tersebut dari siapa pun datangnya,baik miskin atau kaya,mulia atau hina,kuat atau lemah,lawan atau teman.
2.     Lemah lembut
Makna kedua dari tawadhu’ adalah menundukkan pundak Anda terhadap orang lain.Artinya bergaul dengan orang lain secara lemah lembut,siapa pun mereka,baik pelayan atau yang dilayani,orang mulia atau terhina.

 B.   Hidayah al-Qur’an tentang Tawadhu’
Tawadhu merupakan sifat hamba-hamba Allah. Hal ini tercantum dalam firman-Nya,
وَعِبَادُ الرَّحْمنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجهِلُوْنَ قَالُوْا سَلَمًا. (الفرقان: 63)
Artinya:
 “adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati…..”
Syaikh Abu Ali ad-daqqaq mengatakan, bahwa makna ayat ini adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’.
Allah swt. Berfirman:
ولا تصعّر خذّك للناس ولا تمش فى الأرض مرحا إنّ الله لا يحبّ كلّ مختال فخور. (سورة لقمان: 18)
Artiny: “dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

  C.   Hidayah Assunnah tentang Tawadhu’
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "لا يدخل الجنّة من كان فى قلبه مثقال ذرّة من كبر، ولا يدخل النار من فى قلبه مثقال ذرّة من إيمان. فقال رجل: إنّ الرجل يحبّ أن يكون ثوبه حسنا؟ فقال: إنّ الله جميل يحبّ الجمال، الكبر بطر الحقّ وغمط الناس.  ". (رواه المسلم)
Artinya: “tidak akan masuk surge, barang siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barang siapa yang dalam hatinya terdapat iman walau sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berpakaian bagus? Beliau menjawab, “Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan; sombong adalah berpaling dari yang al-Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim)

Dan didalam hadts lain, Rasulullha Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما نقصت صدقة من مال، وما زاد الله عبدا بعفو إلاّ عزّا، ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله. رواه المسلم
Artinya: “Shadaqah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah hamba yang memaafkan kecuali kemulyaan. Tidaklah seseorang bertawadhu’ kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.
Dan Rasulullah juga mencela orang yang Takabbur didalam hadits kudsi beliau bersabda:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال أنّه قال الله تعالى: الكبرياء ردائي، والعظمة إزاري، فمن نازعني فيهما ألقيته فى النار ولا أبالى. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “ dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi bersabda, Allah Ta’ala berfirman: kesombongan adalah pakaian-Ku, dan keagungan adalah kain penutup-Ku, maka barang siapa yang menariknya dari-Ku maka akan Aku jatuhkan kedalam neraka dan tidak akan usai.”
  D.   Contoh-contoh Tawadhu
1.     Tawadhu’ Dalam negara
Sangat layak bagi seorang pemimpin menjadikan Rasulullah sebagai teladannya, dimana  nabi Muhammad s.a.w sebagai seorang pemimpin umat hidup jauh daripada kemewahan, beliau hidup dengan penuh kesederhanaan, dan senang bergaul dengan fakir miskin, sebagaimana dalam hadits berikut:
وأخرج الحاكم في المستدرك برقم : [ 3735 ] فقال : عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن أبيه رضى الله تعالى عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي ضعفاء المسلمين ويزورهم ويعود مرضاهم ويشهد جنائزهم.

Dari Abu Salamah: saya berkata kepada Abu Sa’id al-Khudri, “bagaimana penilaian anda tentang  cara berpakaian, minum, berkendaraan dan makannya orang sekarang?” Dia berkata, “hai saudaraku, makanlah karena Allah, minumlah karena Allah dan berpakaianlah karena Allah. Karena sesuatu yang dimasuki kesombongan, kebanggaan dan pamer atau agar terkenal adalah kemaksiatan dan pemborosan. Dan laksanakanlah dirumahmu pekerjaan-pekerjaan seperti yang dilaksanakan Rasulullah dikediaman beliau. Member makan, meberi minum dan menambatkan onta, menyapu rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menambal baju, makan bersama pembantu beliau, menggilingkan tepung untuknyabila kecapaian, membeli sesuatu dari pasar, tidak malu membawanya sendiri dan menggandengnya dengan ujung baju beliau untuk dibawa kekeluarga, berjabat tangan bersama-sama orang kaya dan fakir miskin, besar dan kecil, mendahului salam kepada setiap orang yang menjumpainya, anak kecil maupun orang tua, hitam maupun merah, merdeka maupun budak, yaitu mereka yang mengerjakan shalat, yakni kaum mukmin.”

Tawadhu’ dalam berumah tangga, kita dapat mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia bersikap tawadhu’ (rendah diri) dihadapan istri-istrinya, sampai-sampai beliau membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga –meskipun ditengah kesibukan beliau menunaikan kewajiban beliau untuk menyampaikan risalah Allah atau kesibukan mengatur kaum muslimin.
Aisyah berkata, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi sholat”. (HR Al-Bukhari)
Imam Al-Bukhari membawakan perkataan Aisyah ini dalam dua bab yaitu “Bab tentang bagaimanakah seorang (suami) di keluarganya (istrinya)?” dan “Bab seseorang membantu istrinya”.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ. (رواه ابن حبّان)
Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember”. (HR Ibnu Hibban)

  E.   Kesimpulan
dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Tawadu’ merupakan salah satu akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap umat islam. Tawadhu memiliki dia pengertian, yaitu:  Pertama, pasrah terhadap kebenaran serta menerima kebenaran tersebut dari siapa pun datangnya,baik miskin atau kaya,mulia atau hina,kuat atau lemah,lawan atau teman. Kedua, Lemah lembut adalah menundukkan pundak Anda terhadap orang lain.Artinya bergaul dengan orang lain secara lemah lembut,siapa pun mereka,baik pelayan atau yang dilayani,orang mulia atau terhina.
Dan dalam hal ini sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.

F.    Saran
Tawadhu’ merupakan salah satu akhlak mulia yang akan mengantarak orang yang tawadhu’ kepada kemulyaan, baik disisi Allah maupun pada sesama makhluk hidup. Oleh karena itu, hendaknya setiap umat islam bersikap tawadhu’ dalam segala aktifitasnya baik dalam berbisnis, berumah tangga, bermasyarakat, bernegaraa dan lain-lain. Dan senantiasa meneladani Rasulullah dalam segala aktifitasnya, karena beliaulah panutan bagi umat islam.

  G.  Refrensi:
1.     Muhammad al-Mishri. Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Jakarta. Pena Pundi Aksara. 2009
2.     Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008
3.     Ibnu Mandzur. Lisanul’arab. Bairut. Dar al-Fikr. 1990
4.     Ensiklopedi Tasawuf, disusun oleh Tim penyusun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.     Al-Qusyairy al-Nisaibury. Al-Risalah al-Qusyairiyah. Bairut. Darulkutub al-‘Ilmiyah. 2005
6.     Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim. Jakarta. Darul Haq. 2008


Selasa, 25 Oktober 2011

ketika waktu berlalu makin lama makin cepat dalam hidup ini,
bagaimana kita menyisihkan waktu untuk hal-hal yang benar-benar penting?

bagaimana kita bisa menemukan kekasih sejati
jika kita menutup diri karena takut disakiti?

bagaimana kita bisa meresapi setiap momen yang ada
kalau pikiran kita senantiasa hinggap dimasa lalu atau masa depan?

apakah terlalu banyak yang sudah kita korbankan?
masihkah kita ingat siapa diri kita ini?

tidak ada yang dapat menengkan pikiran kita, membuka hati kita, atau membantu kita mengerti,
karena semua ini harus bisa kita lakukan sendiri,
dan kebenaran akan datang kalau kita sudah siap menerimanya.

-Peter O'Conner-

Minggu, 23 Oktober 2011

Imam Syafi sebagai sastrawan dan penyair

B.    Imam Syafi sebagai sastrawan  dan penyair
Imam Syafi’I selain dikenal sebagai seorang pendiri mazhab fiqih, ia juga dikenal sebagai seorang yang mehir dalam sastra Arab, dan ia juga mengarang syi’ir-syi;ir arab yang terkumpul dalam diwannya, yaitu Diwan Syafi’i. hal ini tidaklah aneh, karena sebelum ia mendalami Fiqih, ia lebih dahulu mendalami sastra Arab dengan menghafal Syi’ir-syi;ir Imri il-Qais, Zuhaur ibn Sulma, dan Jarir. Selain itu ia belajar bahasa Arab langsung ke kabilah Bani Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihannya.
Dan imam Syafi’I juga meriwayatkan syi;ir al-Syanfariy. Dan al-Asma’iy bertemu dengan imam Syafi’I yang kemudian ia belajar darinya syi’ir al-Syanfarit dan syi;ir Huzail, dan juga belajar dari imam Syafi’I riwayatnya, penjelasannya, kefasihannya, dan kegharibannya. Abu Utsman al-Maziniy meriwayatkan: “saya mendengar al-Asma’iy berkata: saya belajar syi’ir al-Syanfari kepada imam Syafi’I di Makkah.”
Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, imam an-Nawawi mengatakan, imam Syafi’I adalah seorang pakar dibidang bahasa Arab dan ilmu nahwu. Ia belajar bahasa Arab selama 20 tahun, lengkap dengan ilmu balghah (sastra) dan fusha (bahasa arab fasih). Padahal ia sendiri adalah orang Arab, tinggal di Arab, dan bergaul dengan orang Arab.
Abu Na’im al-Istarbady bercerita bahwa ia mendengara Rabi’ inb Sulaiman berkata: apabila saya melihat imam Syafi’I dan kebagusan penjelasan dan kefasihan dia, maka saya kagum kepadanya. Dan apabila ia mengarang kitab-kitabnya ini dengan bahasa Arabnya – bahas Arab yang ia gunakan untuk berbicara dengan saya ketika berdiskusi, maka tidak akan mampu untuk membaca kitab-kitabnya karena kefasihan beliau dan lafaz-lafaz ia yang jarang di gunakan – hanya saja dalam mengarang, ia bersungguh-sungguh untuk menjelaskan kepada orang Awam.[1]
Prof. Abdul Halim al-jundi menejlaskan mengenai gaya bahasa yang sering digunakan Imam Syafi’i. menurutnya, ada tiga cirri utama karya Imam Syafi’I, yaitu:[2]
1.      Bahasnya fasih, artinya kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang tepat dan benar, serta mudah difahami.
2.      Kata-katanya ringkas, maksudnya adalah suatu karya yang menggunakan bahasa yang ringkas namun padat makna, menunjukkan kehebatan penulisnya dibidang ilmu balaghah (sastra arab).
3.      Menyentuh perasaan pembaca, ada beberapa factor yang membuat karya-karya Imam Syafi’I menyentuh perasaan pembaca. Diantaranya, yaitu:
a.       Bakat dirinya sebagai motifator ulung.
b.      Kelihaian menguntai retorika yang indah
c.       Keberhasilan menelaah syair-syair jahiliyah.

Majlis Imam syafi’I sering dikunjungi oleh para pakar bahasa dan sastrawan. Berkaitan dengan hal ini, Imam al-Karabisi berkata, “saya sama sekali belum pernah melihat sebuah majlis yang banyak dihadiri oleh orang-orang besar, kecuali imam Syafi’i. dimajlis itu hadir ahli hadits, ahli Fiqh, ahli syair, dan paka bahasa, mereka senua menimba ilmu dari majlis tersebut.”[3]
Dan ima Syafi’I sering membaca syair, sehingga dipembaringan saat detik-detik kematian akan menjemputnya. Mengenai hal ini, Imam al_muzani bercerita, “saya menjenguk Imam Syafi’I di saat sakit keras. Lalu saya bertanya kepadanya, ‘bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai ustadz?’ Ia menjawab, ‘pagi ini saya akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan saudara-saudaraku. Dan dengan kekeliruanku, saya akan menghadap Allah dan berharap dapat meneguk secangkir air surge. Demi Allah, saya tidak tahu apakah ruhku akan terbang ke surge dan berbahagia ataukah mampir ke neraka dan bersedih karenya. ’” kemudia ia mendendangkan syair-syair dibawah ini:[4]
Hanya kepada-Mu, wahai Tuhan segenap makhluk, kugantungkan harapan # meski aku sadar, diri ini berlumur dosa, wahai Dzat pemberi Anugerah.
Ketika hatiku membatu, dan jalanku buntu # agar selamat, kuberharap ampunan-Mu.
Engkau tak pernah bosan mengampuni dosa # Engkau selalu bersifat mulia dan memaafkan orang yang berdosa.
Andai bukan karena-Mu, iblis tak akan sanggup menggoda ahli ibadah # betapa tidak, Adam saja sempat dijerumuskan olehnya,
Andai Engkau mengampuniku, Engkaupun akan mengampuni pendurhaka # yang zalim dan kejam, yang terus berkutat dalam dosa.
Namun jika Engkau menyiksaku, maka aku tidak akan pupus harapan # karena dosaku, dalam jahannam  aku pantas dijebloskan.
Dari dulu sampai kini, dosaku memang besar # tapi ampunan-Mu, wahai dzat pemaaf, adalah lebih besar.


[1]  Sya’ban Muhammad Isma’il, al-Tasyri’ al-Islamiy: Mashadiruhu wa Athwaruhu (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyah,1958), cet. 2, hlm336
[2] Ahmad nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I (Jakarta: Mizan Publika, 2008), cet. 1, hlm.21
[3] Ahmad nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I… hlm 21
[4] Ar-Razi, Manaqib Imam Syafi’I, hlm. 113

Senin, 10 Oktober 2011

Membangun Moral Bangsa

tulisan ini terinspirasi oleh berita-berita yang saya dengar dari media, baik media elektronik maupun media cetak. akhir-akhir ini kita sering disuguhi oleh berita-berita terkait dengan kemerosotan moral bangsa Indonesia,  mulai dari rakyat jelata, pelajar, hingga pejabat pemerintah. tauran antara pelajar (seperti pelajar SMA 6 dengan wartawan yang terjadi pada tanggal 11 septeember 2011), pemerkosaan seperti yang terjadi baru-baru ini yaitu pemerkosaan yang dilakukan di salah satu trayek angkot di jakarta, pergaulan bebas, anggota dewan yang tertnagkap basah menonton video porno ketika rapat DPR, Korupsi dan lain-lain. hal ini sungguh memprihatinkan bagi kita sebagai bangsa yang mengaku sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dan bangsa yang selalu mejunjung tinggi nilai-nilai moralitas.
dengan fenomena-fenomena ini, saya terkadang berpikir, kenapa hal-hal ini terjadi di Negeri yang tercinta ini??? dan apa yang salah? dan bagaimana mencari solusinya?. mungkin pertanyaan-pertanyaan ini telah ada di benak kita semua, sebagai sebuah kepedulian kita terhadap nasib moral bangsa. oleh karena itu, sepatutnya masalah kemerosotan moral ini menjadi agenda kita bersama untuk mencarikan solusi yang tepat untuk mengatasinya. apabila hal ini tidak segera di perbaiki maka kita sebabgai rakyat Indonesia hanya tinggal menunggu waktu kehancuran bangsa ini, sebagaimana yang dikatakan oleh
Penyair kenamaan Mesir, Ahmad Syauqi, yang mengatakan:
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت       #        فإنّ همّوا ذهبت أخلاقهم ذهبوا
“kelanjutan eksistensi suatu masyarkan ditentukan oleh tegaknya anggota masyarakat itu dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya”
Sebagai bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menempatkan Tuhan pada posisi tertinggi dalam segala aktivitas kita, dengan hal tersebut maka kita akan senantiasa merasa di awasi oleh-Nya dalam segala aktivitas, sehingga dengan penuh kesadaran kita akan senantiasa berprilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan. Kasadaran akan keberadaan Tuhan (SQ) dalam segala kativitas kita inilah yang seharusnya kita kembangkan dalam diri kita sebagai individu.
Namun untuk mengembangkan kesadaran seperti ini bukanlah suatu hala yang mudah bagi kita, terutama bagi seorang pemuda. Oleh karena itu kesadaran seperti ini hendaknya dikembangkan terlebih dahulu dalam diri setiap pemimpin bangsa, guru, dan orang tua untuk dijadikan contoh bagi pemuda dan anak-anak. Namun dalam kenyataanya hal ini belum kita dapati di negeri ini, menurut saya inilah yang menjadi penyebab kemerosotan moral yang terus melanda negeri ini dari masa kemasa semakin merisaukan.
Dalam lingkungan keluarga, peran orang tua  sangat penting dalam proses mengembangkan moral anggota keluarganya karena didalam keluargalah seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya dan banyak meniru setiap prilaku orang tua. Oleh karena itu, orang tua hendaknya senantiasa berprilaku sesua dengan nilai-nilai moral yang berlandaskan kesadaran akan Ketuhanan dan juga hendaknya senantiasa memberikan kesadaran pada anaknya akan keberadaan Tuhan yang senantiasa melihat segala tingkah laku kita.
Kesadaran Akan ketuhanan bukan hanya sekedar meyakini akan keberadaan Tuhan, namun lebih dari itu, keyakina itu harus menjadi Ruh begi seorang anak bukan hanya sekedar daging. Hal ini sebagaimana yang dikatakan KH. Musthafa Bisri yang diwawncarai dalam acara Kick Andy, ia mengatakan “di Indonesia banyak majlis-majlis Dzikir, orang berdzikir hingga meneteskan air mata namun setelah selesai, ia kembali maksiat dan korupsi lanjut. Hal ini terjadi karena Iman kepada Allah hanya sebatas daging, tidak menjadi ruh”  
Dalam dunia pendidikan, pendidikan masih menekankan meningkatkan kecerdasan intelektual (IQ), hal ini terbukti dengan dijadikannya nilai dan posisi kerja sebagai tolak ukur keberhasilan proses pendidikan, namun melupakan unsure-unsur kecerdasan lain yang dimiliki manusia yaitu Kecerdasan Emosi (SQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). hanya mengembangkan IQ akan menciptakan generasi yang tidak memiliki kepekaan sosial (EQ) dan hilangnya makna dalam segala aktivitasnya (SQ). seperti yang terjadi di Negeri ini, banyak orang cerdas namun disalah gunakan untuk menipu, korupsi dan lain-lain.
Oleh karena itu, pendidikan haruslah mengmbangkan ketiga kecerdasan manusia ini, sehingga akan tercipta generasi-generasi yang integral, ia cerdas secara intelektual, cerdas secara emosi, dan cerdas secara spriritual. Untuk mewujudkan tujuan ini maka peran tenaga pendidik sangat penting, oleh karena itu tenaga pendidik hendaknya mengembangkan tiga kecerdasan ini dalam dirinya terlebih dahulu. Dengan kettiga kecerdasan ini, maka dapat diharapkan akan generasi yang cerdas dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
 Dalam lingkup pemimpin Negara, dengan menjalankan roda pemerintahan yang jujur, adil, dan bertanggung jawab merupakan contoh yang baik bagi generasi bangsa ini. Dari pemaparan ini, peran Kepala keluarga, tenaga pendidk, dan pemimpin pemerintahan sangat penting dalam upaya perbaikan moral bangsa dengan terlebih dahulu menjadikan dirinya orang-orang yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jumat, 07 Oktober 2011

Imam Syafi'i

IMAM SYAFI’I

A.    Pertumbuhan dan mencari Ilmu
Imam Syafi’I adalah ulama pendiri mazhab Syafi’i, salah satu mazhab fiqih yang paling banyak di ikuti oleh masyarakat islam di dunia, dan menjadi mazhab yang paling banyak di ikuti di Indonesi.
Nama asli imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I al-Sayib bin Ubaid bin al-yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallib,[1] dari keturunan bani Muthallib bin ‘Abdu al-manaf, nasabnya bertemu dengan Rosulullah di “Abdulmanaf.[2] Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. di Ghazah Palestina, sedangkan menurut pendapat lain beliau dilahirkan di Asqalan (Libanon). Beliau dilahirkan pada tahun yang sama dengan kematian Imam Abu Hanifah di Baghdad, seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi.
Adapun Ghazah bukanlah tanah air bapaknya, akan tetapi bapaknya (Idris) melakukan perjalanan ke Ghazah Karena ada suatu keperluan dan kemudian beliau wafat, maka tumbuhlah imam Syafi’I sebagai anak yatim. Dan ketika Imam Syafi’I berusia dua tahun, ibunya membawanya ke Makkah, tanah kelahiran nenek moyangnya.[3] Beliau menghabiskan hidupnya di Makkah hingga usia 20 tahun. Dan di Makkah Imam Syafi’I menghabiskan waktunya dengan belajar berbagai ilmu pengetahuan, ia mampu menghafal al-Qur’an ketika berusia 9 tahun dan belajar al-Qur’an kepada Ismail Qustanthen. Setelah imam syafi’I belajar al-Qur’an, beliau menyentuh ranah-ranah puisi dan prosa dengan menghafal bait-bait syair-syair dan sajak arab klasik, dimasa pembelajarannya terhadap syair ini beliau hingga pergi ke bani Huzail, salah satu suku arab yang terkenal fasih. Imam Syafi’I tinggal di Huzail selama kurang lebih 10 tahun, ia menhafal syi’ir-syi’ir dari Imru’unal-Qais, Zuhair dan Jarir.
Dalam hal ilmu Fiqh, ia berguru kepada salah seorang Mufti Makkah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji hingga ia di beri izin untuk berfatwa sendiri dan ketika itu ia baru berusia 15 tahun. Dan dia meriwayatkan hadist dari seorang ulama hadist Sofyan bin Uwainah (198H), kemudian dia menghafal hadist dalam kitab al-Muwattha karya imam Malik dalam usia 13 tahun.
Adapun yang mendorong imam Syafi’I untuk mendalami fikih adalah karena peristiwa ketika ia sedang mengendarai unta, tiba-tiba di belakangannya ada seseorang yaitu juru tulis Mus’ab bin Abdullah al-Zabiri. Dan imam Syafi’I ketika itu sedang berdendang dan menyanyikan sebuah syi’ir , tiba-tiba juru tulis itu menegurnya: wahai pemuda, kamu hanya menghabiskan masa mudamu untuk menyanyi dan berdendang, alangkah baiknya jika waktu mudamu untuk mempelajari hadits dan fiqih.[4]
 Setelah imam Syafi’I mempelajari dan meghafal kitab al-Muwattha karya imam Malik, kemudian imam Syafi’I melakukan perjalanan ke Madinah untuk berguru langsung kepada pengarangnya, yaitu imam Malik. Ketika itu ia berusia 20 tahun, tepatnya tahun 170 H. hingga tahun 172 H. kemudian ia melakukan perjalanan ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani, salah seorang murid dari imam Abu Hanifah (w 150H), imam Syafi’I sering melakukan melakukan diskusi dengannya, sehingga menurut Khudhary Bek, pemikiran imam Syafi’I penuh dengan hasil diskusi tersebut.[5]
Setelah dua tahun ia tinggal di Irak, kemudian ia kembali ke Makkah tepatnya pada tahun 174H, kemudiaan ia berguru kembali pada imam Malik hingga ia wafat pada tahun 179 H. setelah itu ia melakukan perjalanan kembali ke Yaman, di Yaman, pernah mendapat tuduhan dari Kahlifah Abbasiyah (penguasa waktu itu), bahwa Syafi’I telah membaiat ‘Alawy atau dituduh sebagai Syi’iy. Karena tuduhan itu, maka ia dihadapkan kepada Harun al-Rasyid, Khalifah Abbasiyah. Tetapi akhirnya Harun al-Rasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut. Peristiwa itu terjadi tahun 184, ketika Syafi’I diperkirakan berusia 34 tahun.
Tahun 195 H. al-Syafi’I pergi ke Baghdad dan menetap disana selama 2 tahun. Setelah itu ia kembali ke Makkah. Pada tahun 198 H. ai kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana beberapa bulan, kemudian tahun 198 H. pergi ke Mesir dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 rajab sesudah menunaikan shalat isya’. Imam Syafi’I di kuburkan di suatu tempat di Qal’qh yang bernama Mishru al-Qadimah.[6]
Ibnu Hajar mengatakan pula, bahwa ketika kepemimpinan fiqh di Madinah berpuncak pada Imam Malik, Imam Syafi;I pergi ke Madinah untuk belajar kepadanya. Dan ketika kepemimpinan fiqih berpuncak pada Abu Hanifah dan syafi;I belajar Fiqih ke Irak kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy (salah seorang murid Abu Hanifah). Oleh sebab itu pada Imam Syafi’I terhimpun pengetahuan fiqh Ashab al-hadits (Imam Malik) dan Fiqih Ashab al0Ra’yi (Abu hanifah).[7]



[1] Ahmad Nahrawi Abdu al-salam, Al-Imam Syafi’I fi Mazhabihi: Qadim wa Jadid (al-Qahirah, 1994), hlm 17
[2] Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqhi al-Islami (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shahih wa Auladuhu,), hlm. 103
[3] Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqhi al-Islami, 103
[4] Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’I (Malang: UIN-malang Press, 2008), cet. 1, hlm. 67-68
[5] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. 1, hlm.125
[6] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab… hlm 123
[7]  Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab… hlm 123