IMAM SYAFI’I
A. Pertumbuhan dan mencari Ilmu
Imam Syafi’I adalah ulama pendiri mazhab
Syafi’i, salah satu mazhab fiqih yang paling banyak di ikuti oleh masyarakat
islam di dunia, dan menjadi mazhab yang paling banyak di ikuti di Indonesi.
Nama asli imam Syafi’I adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I al-Sayib bin Ubaid bin
al-yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallib,[1]
dari keturunan bani Muthallib bin ‘Abdu al-manaf, nasabnya bertemu dengan
Rosulullah di “Abdulmanaf.[2]
Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. di Ghazah Palestina, sedangkan menurut
pendapat lain beliau dilahirkan di Asqalan (Libanon). Beliau dilahirkan pada
tahun yang sama dengan kematian Imam Abu Hanifah di Baghdad, seorang ulama
besar pendiri mazhab Hanafi.
Adapun Ghazah bukanlah tanah air bapaknya,
akan tetapi bapaknya (Idris) melakukan perjalanan ke Ghazah Karena ada suatu
keperluan dan kemudian beliau wafat, maka tumbuhlah imam Syafi’I sebagai anak
yatim. Dan ketika Imam Syafi’I berusia dua tahun, ibunya membawanya ke Makkah,
tanah kelahiran nenek moyangnya.[3]
Beliau menghabiskan hidupnya di Makkah hingga usia 20 tahun. Dan di Makkah Imam
Syafi’I menghabiskan waktunya dengan belajar berbagai ilmu pengetahuan, ia
mampu menghafal al-Qur’an ketika berusia 9 tahun dan belajar al-Qur’an kepada
Ismail Qustanthen. Setelah imam syafi’I belajar al-Qur’an, beliau menyentuh
ranah-ranah puisi dan prosa dengan menghafal bait-bait syair-syair dan sajak
arab klasik, dimasa pembelajarannya terhadap syair ini beliau hingga pergi ke
bani Huzail, salah satu suku arab yang terkenal fasih. Imam Syafi’I tinggal di
Huzail selama kurang lebih 10 tahun, ia menhafal syi’ir-syi’ir dari
Imru’unal-Qais, Zuhair dan Jarir.
Dalam hal ilmu Fiqh, ia berguru kepada
salah seorang Mufti Makkah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji hingga ia di beri
izin untuk berfatwa sendiri dan ketika itu ia baru berusia 15 tahun. Dan dia
meriwayatkan hadist dari seorang ulama hadist Sofyan bin Uwainah (198H),
kemudian dia menghafal hadist dalam kitab al-Muwattha karya imam Malik
dalam usia 13 tahun.
Adapun yang mendorong imam Syafi’I untuk
mendalami fikih adalah karena peristiwa ketika ia sedang mengendarai unta,
tiba-tiba di belakangannya ada seseorang yaitu juru tulis Mus’ab bin Abdullah
al-Zabiri. Dan imam Syafi’I ketika itu sedang berdendang dan menyanyikan sebuah
syi’ir , tiba-tiba juru tulis itu menegurnya: wahai pemuda, kamu hanya
menghabiskan masa mudamu untuk menyanyi dan berdendang, alangkah baiknya jika
waktu mudamu untuk mempelajari hadits dan fiqih.[4]
Setelah
imam Syafi’I mempelajari dan meghafal kitab al-Muwattha karya imam Malik,
kemudian imam Syafi’I melakukan perjalanan ke Madinah untuk berguru langsung
kepada pengarangnya, yaitu imam Malik. Ketika itu ia berusia 20 tahun, tepatnya
tahun 170 H. hingga tahun 172 H. kemudian ia melakukan perjalanan ke Irak untuk
menuntut ilmu kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani, salah seorang murid dari
imam Abu Hanifah (w 150H), imam Syafi’I sering melakukan melakukan diskusi
dengannya, sehingga menurut Khudhary Bek, pemikiran imam Syafi’I penuh dengan
hasil diskusi tersebut.[5]
Setelah dua tahun ia tinggal di Irak,
kemudian ia kembali ke Makkah tepatnya pada tahun 174H, kemudiaan ia berguru
kembali pada imam Malik hingga ia wafat pada tahun 179 H. setelah itu ia
melakukan perjalanan kembali ke Yaman, di Yaman, pernah mendapat tuduhan dari
Kahlifah Abbasiyah (penguasa waktu itu), bahwa Syafi’I telah membaiat ‘Alawy
atau dituduh sebagai Syi’iy. Karena tuduhan itu, maka ia dihadapkan kepada
Harun al-Rasyid, Khalifah Abbasiyah. Tetapi akhirnya Harun al-Rasyid
membebaskannya dari tuduhan tersebut. Peristiwa itu terjadi tahun 184, ketika
Syafi’I diperkirakan berusia 34 tahun.
Tahun 195 H. al-Syafi’I pergi ke Baghdad
dan menetap disana selama 2 tahun. Setelah itu ia kembali ke Makkah. Pada tahun
198 H. ai kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana beberapa bulan, kemudian
tahun 198 H. pergi ke Mesir dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29
rajab sesudah menunaikan shalat isya’. Imam Syafi’I di kuburkan di suatu tempat
di Qal’qh yang bernama Mishru al-Qadimah.[6]
Ibnu Hajar mengatakan pula, bahwa ketika
kepemimpinan fiqh di Madinah berpuncak pada Imam Malik, Imam Syafi;I pergi ke
Madinah untuk belajar kepadanya. Dan ketika kepemimpinan fiqih berpuncak pada
Abu Hanifah dan syafi;I belajar Fiqih ke Irak kepada Muhammad bin Hasan
al-Syaibaniy (salah seorang murid Abu Hanifah). Oleh sebab itu pada Imam
Syafi’I terhimpun pengetahuan fiqh Ashab al-hadits (Imam Malik) dan Fiqih Ashab
al0Ra’yi (Abu hanifah).[7]
[1] Ahmad Nahrawi Abdu
al-salam, Al-Imam Syafi’I fi Mazhabihi: Qadim wa Jadid (al-Qahirah,
1994), hlm 17
[2] Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqhi al-Islami (Kairo:
Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shahih wa Auladuhu,), hlm. 103
[3] Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh
al-Fiqhi al-Islami, 103
[4] Roibin, Sosiologi
Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’I (Malang:
UIN-malang Press, 2008), cet. 1, hlm. 67-68
[5] Huzaemah Tahido Yanggo,
Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. 1,
hlm.125
[6] Huzaemah Tahido Yanggo,
Pengantar Perbandingan Mazhab… hlm 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar